.

Jumat, 06 Agustus 2010

KISAH ZUHUD

Adalah Muhammad bin Wasi’, salah seorang anggota pasukan Qutaibah bin Muslim, yang sangat terkenal dengan kezuhudannya. Di matanya emas tak lebih berharga daripada tanah yang diinjaknya. Qutaibah bin Muslim amat bangga kepada Muhammad. Dan Qutaibah ingin menunjukkan kezuhudan Muhammad kepada para menteri dan pejabat. Qutaibah yang di tangannya ada setumpuk emas seumpama kepala banteng berkata, “Menurut kalian, adakah orang yang menolak emas ini?”
“Tak akan ada orang yang zuhud terhadapnya,” jawab mereka serentak.
“Akan kutunjukkan kepada kalian, salah seorang umat Muhammad saw yang dalam pandangannya emas sama saja dengan tanah. Panggilkan Muhammad bin Wasi’,” kata Qutaibah.
Maka Muhammad dipanggil. Sesampai di hadapannya, Qutaibah menyerahkan tumpukan emas sebesar kepala banteng itu kepadanya. Muhammad menerimanya.

Qutaibah heran. Sempat ia berpikir, pasti Muhammad akan mengembalikannya. Ternyata sangkanya keliru. Qutaibah membawanya balik.
Qutaibah pun menyuruh beberapa orang untuk membuntuti Muhammad. Dia bergumam, “Ya Allah, janganlah Engkau kelirukan prasangka baikku padanya.”
Muhammad kembali ke kesatuannya. Dalam sebuah perjalanan, ada seorang pengemis yang menengadahkan tangannya kepada pasukan, Muhammad bin Wasi’ adalah salah seorang dari anggota pasukan itu. Muhammad menyerahkan semua emas yang diterimanya kepada pengemis itu. Semuanya, tanpa sisa.

Orang-orang yang diutus Qutaibah untuk membuntuti Muhammad pun melaporkan kejadian itu. Qutaibah berkata, “Bukankah sudah kukatakan, ada orang dari umat Muhammad saw yang di matanya emas itu laksana tanah?”
Inilah zuhud. Dunia datang dan pergi, sementara hati tetap bersama Allah. Rasulullah saw telah mengingatkan kita supaya tidak menghamba kepada dunia. Beliau bersabda,
“Celakalah penghamba dirham. Celakalah penghamba dinar. Celakalah penghamba kain beludru. Celakalah penghamba kain bersulam sutera. Celaka dan celaka. Jika tertusuk duri, duri itu tak dapat dicabut darinya.” (Hadits riwayat Imam al-Bukhariy)
Kenapa orang-orang itu celaka? Karena mereka menghamba kepada hawa nafsunya. Allah berfirman,
“Pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya (karena Allah telah mengetahui bahwa Dia tidak menerima petunjuk-petunjuk yang diberikan kepadanya).” (Q.S. Al-Jatsiyah: 23)

Juga Syarat Cinta
Sahal bin Sa’ad ra bertutur, “Seseorang menemui Rasulullah saw seraya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu amalan, jika aku mengerjakannya Allah mencintaiku dan orang-orang pun mencintaiku.’ Beliau menjawab, ‘Zuhudlah terhadap dunia niscaya Allah mencintaimu, Zuhudlah terhadap apa yang dimiliki oleh orang-orang niscaya mereka mencintaimu.’.” (Hadits riwayat Ibnu Majah dan al-Hakim)

Hadits Sahal ini menegaskan bahwa cinta Allah dapat diraih dengan zuhud terhadap dunia. Sesungguhnya dunia adalah negeri persinggahan bukan negeri untuk menetap. Dunia adalah tempat yang penuh dengan duka cita bukan tempat tinggal untuk bersuka cita. Sudah sepantasnyalah seorang mukmin menjadikan dunia sebagai bagian perjalanan, mempersiapkan bekal dan hartanya untuk menuju ke perjalanan yang pasti. Perjalanan menuju negeri akhirat.
Allah berfirman, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Al-Hadid: 20)

Hakikat Zuhud


Abu Sulaiman Ad Daaroniy—sebagaimana dikutip oleh Al Hafizh Ibnu Rojab al-Hambali dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (2/186)—mengatakan, “Para ‘alim ulama di Iraq berselisih pendapat mengenai pengertian zuhud. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah menjauhi dari manusia. Ada pula yang mengatakan bahwa zuhud adalah meninggalkan berbagai nafsu syahwat. Ada juga yang mengatakan bahwa zuhud adalah meninggalkan diri dari kekenyangan. Semua definisi ini memiliki maksud yang sama.”

Kemudian Ad Daaroniy mengatakan bahwa beliau cenderung berpendapat bahwa zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang dapat melalaikan dari mengingat Allah ‘azza wa jalla.
Banyak sekali perkataan Salaf dalam mendefinisikan zuhud terhadap dunia. Semua berkisar pada pupusnya hasrat kepada dunia dan kosongnnya hati dari ketergantungan terhadap dunia.
Imam Ahmad berkata, “Zuhud terhadap dunia adalah pendek angan-angan.”

Abdul Wahid bin Zaid bertutur, “Zuhud adalah zuhud terhadap dunia dan dirham.
Al-Junaid ditanya mengenai zuhud, maka beliau menjawab, “Zuhud adalah menganggap dunia itu kecil dan menghilangkan bekasnya dari hati.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Zuhud adalah meninggalkan semua yang tidak mendatangkan manfaat ukhrawi.”
Akhirnya, marilah kita renungkan pernyataan Ibnul Qayyim berikut ini: “Orang-orang bijaksana telah bersepakat bahwa zuhud adalah menyingkirnya hati dari negeri dunia, dan membawanya ke negeri akhirat. Maka di manakah gerangan para musafir yang hatinya tertambat kepada Allah?Di manakah gerangan para pejalan yang hendak menuju ke tempat yang mulia dan derajat yang tinggi?Di manakah gerangan para perindu surga dan penuntut akhirat?”

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | JCPenney Coupons